SEJARAH NAMA INDONESIA
Sebelum menjadiIndonesia, kepulauan di tanah air memiliki berbagai macam sebutan. Bangsa Tionghoa
menyebut kawasan kepulauan tanah air dengan nama Nan-hai atau Kepulauan
Laut Selatan. Bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara atau Kepulauan
Tanah Seberang. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi
atau Kepulauan Jawa. Bangsa-bangsa Eropa menyebut tanah air dengan nama
“Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel
Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes
Orientales). Bangsa Eropa juga memiliki sebutan lain bagi tanah air yaitu,
“Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel
Malais).
Nama resmi yang
digunakan pada jaman penjajahan Belanda adalah Netherlandsch-Indie (Hindia
Belanda), sedangkan pada jaman kedudukan Jepang pada tahun 1942-1945 memakai
istilah To-Indo (Hindia Timur).
Multatuli atau dengan
nama aslinya Eduard Douwes Dekker (1820-1887) sempat mengusulkan nama untuk
menyebut kepulauan tanah air ini yaitu, Insulinde, yang artinya “kepulauan
hindia” namun nama tersebut kurang terkenal.
Pada tahun 1920, Ernest
Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 – 1950), atau yang lebih akrab dengan
sapaan Dr. Setiabudi yang adalah cucu dari adik Multatuli, memperkenalkan
sebuah istilah bagi kepulauan tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata
India, dan istilah yang beliau kenalkan tiada lain adalah Nusantara, istilah
yang telah ada sejak lama namun telah tenggelam dengan berjuta kisah di masa
kerajaan. Setiabudi mengambil nama Nusantara dari Pararaton, naskah kuno zaman
Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu JLA. Brandes
menerjemahkannya dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara
yang diusulkan oleh Setiabudi berbeda dengan pengertian Nusantara pada zaman
Majapahit, pada zaman Majapahit, nusantara digunakan untuk menyebutkan
pulau-pulau di luar Jawa. kata Nusantara ketika zaman Majapahit berkonotasi jahiliyah
itu oleh Dr. Setiabudi diberi pengertian yang nasonalistis. Dengan mengambil
kata Melayu Asliantara, maka Nusantara yang diusulkan Setiabudi adalah Nusa di
Antara Dua Benua dan Dua Samudra, sehingga dalam definisi ini, Jawa pun
termasuk dalam Nusantara. Berbeda dengan popularitas istilah yang diusulkan Multatuli,
istilah usulan Setiabudi dengan cepat populer penggunaannya sebagai alternatif
dari nama Hindia Belanda, bahkan sampai saat ini istilah Nusantara tetap
dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Pada tahun 1847 di Singapura,
terbit sebuah majalah tahunan yaitu, Journal of the Indian Archipelago and East
Asia yang disingkat JIAEA, yang dikelola oleh James Richardson Logan
(1819-1869), James adalah seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum di
Edinburgh University. Kemudian, pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bahasa
Inggris yang bernama George Samuel Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai
majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 185o, di halaman 66-74, George
Samuel Earl menulis artikel On The Leading Characteristics of the Papuan,
Australian and Malay-Polynesin Nations. Dalam artikel tersebut George Samuel
Earl menegaskan bahwa sudah saatnya bagi Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu
untuk memiliki nama yang khusus atau khas (a distinctive name), karena nama
Hindia kurang tepat dan juga nama Hindia sering rancu dengan penyebutan India
yang lain. George Samuel Earl mengajukan 2 usulan, yakni Indunesia atau
Malayunesia, nesos dalam bahasa Yunani berarti Pulau.
George Samuel Earl
menyatakan alasan beliau memilih nama Malayunesia dari pada Indunesia
dikarenakan Malayunesia sangat tepat dengan kondisi tanah air yang mempunyai
ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa saja digunakan untuk Srilanka dan
Maladewa. George Samuel Earl juga berpendapat bahwa bahasa Melayu dapat dipakai
di seluruh kepulauan ini, dalam tulisan tersebut beliau memakai istilah
Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV,
pada halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Etnology of
the Indian Archipelago. Di awal tulisannya, James Richardson Logan juga
menyatakan bahwa kepulauan tanah air kita membutuhkan nama yang khas, sebab
istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan membingungkan, dan akhirnya
James Richardson Logan mengutip nama Indunesia yang dibuang George Samuel Earl,
dan huruf U dalam Indunesia digantinya dengan huruf O agar lebih baik dalam
pengucapannya. Dengan demikian lahirlah istilah Indonesia.
Pertama kalinya muncul
istilah Indonesia di dunia dalam cetakan halaman 254 dalam tulisan James
Richardson Logan: “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but
rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term
Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the
Indian Archipelago“.
Ketika mengusulkan nama
Indonesia, agaknya James Richardson Logan tidak mempunyai pemikiran atau tidak
menyadari bahwa dengan meluasnya nama Indonesia, nama ini bisa akan menjadi
namayang resmi, sejak saat itu James Richardson Logan secara konsisten
menggunakan nama Indonesia dalam tulisan-tulisan ilmiah selanjutnya, dan
seiring berjalannya waktu nama Indonesia telah sampai ke kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884, guru
besar di Berlin University yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan
buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima
volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika berada di tanah air pada tahun
1864 sampai tahun 1880, berkat buku ini, istilah Indonesia terkenal di kalangan
sarjana Belanda, sehingga sempat timbul issue bahwa istilah Indonesia
diciptakan oleh Adolf Bastian, issue-issue tersebut dimuat dalam Encyclopedia
van Netherlandsch-Indie pada tahun 1918, padahal Adolf Bastian mengutip istilah
Indonesia dari tulisan-tulisan ilmiah milik James Richardson Logan.
Berbicara tentang
kepopuleran istilah Indonesia, Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah
Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat atau yang akrab dengan nama Ki Hajar
Dewantara. Beliau mengetahui sert memakai istilah tersebut ketika beliau
dibuang ke negeri Belanda pada tahun 1913, dan beliau mendirikan sebuah biro
pers dengan nama Indonesische Pers-Bureau. Nama Indonesische atau Indonesia
juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch atau Hindia oleh Cornelis van
Vollenhoven (1917), diwaktu yang sama, Inlander atau pribumi diganti dengan
Indonesier atau orang Indonesia.
Pada dasawarsa 1920-an,
nama Indonesia yang merupakan istilah ilmiah daam etnologi dn geografi itu
diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga
makna Indonesia akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa
yang memperjuangkan kemerdekaan. Dari hal itu, Belanda mulai curiga dan waspada
dengan penggunaan istilah ciptaan James Richardson Logan itu. Tahun 1922,
seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam,
organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun
1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische
Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra,
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Ini adalah inisiatif Mohammad
Hatta. Mohammad Hatta atau yang kerap disapa Bung Hatta menegaskan dalam
tulisannya:
“Negara Indonesia
Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil
disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan
kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu
tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan
suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia
(Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Di tanah air, Dr.
Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club (1924), dan tahun 1925, Jong
Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij atau
NATIPIJ, itulah 3 organisasi pertama di tanah air yang menggunakan istilah
Indonesia. Akhirnya Nama Indonesia dinobatkan menjadi nama tanah air, bangsa,
dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia pada tanggal 28 Oktober
1928, yakni dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939, tiga
anggota Volksraad, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo
Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama
Indonesia diresmikan sebagai pengganti nama Netherlandsch-Indie, tetapi Belanda
menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah
air ke tangan Jepang (8 Maret 1942), lenyaplah nama Hindia Belanda, lalu pada
tanggal 17 Agustus 1945,terciptalah kemerdekaan dan lahirlah Indonesia.
referensi:
Komentar
Posting Komentar